Kamis, 23 Desember 2010

Menilik Kraton Yogya

Berbalut surjan dan jarik, empat bupati dan wali kota Yogyakarta berjalan jongkok. Dengan cara laku ndodok itu, mereka mendekati singgasana Sultan Hamengkubuwono X. Mengekor di belakang adik-adik Sultan dan kerabat keraton, mereka menunggu giliran sungkeman.

“Maju,” titah Sri Sultan.

Mereka bergerak, mencium lutut Sultan. Lalu hening.

"Mundur," suara Sultan kembali terdengar. Itu tanda satu sungkeman berakhir, dan bertukar giliran. Satu per satu. Mereka menghaturkan sembah. Mencium lutut sang raja Jawa.

Digelar setiap Idul Fitri, tradisi sungkeman dimulai dua setengah abad silam, sejak Sultan Hamengkubuwono I bertahta. Ritual itu disebut Grebeg Syawal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Yang hadir, keluarga dan abdi dalem keraton. Itu simbol hormat dan patuh kepada raja.

Bupati dan walikota? Lima pejabat teras itu memang bukan abdi dalem keraton yang bekerja untuk raja. Tak juga ada gelar bangsawan sebagai tanda kerabat keraton. Secara struktural, mereka bawahan Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lantas mengapa bupati dan walikota ikut mencium lutut raja?

Seorang kerabat keraton, Heru Wahyukismoyo, mengatakan, kehadiran bupati dan wali kota di setiap Grebeg Syawal bersifat fakultatif. Bukan titah Sultan. Juga bukan kewajiban. “Mereka yang tak punya hubungan kekerabatan dengan keraton biasanya mengajukan diri ikut sungkeman,” ujarnya.

Meleburnya para abdi republik ke dalam tradisi keraton, juga tampak pada upacara pemandian pusaka (jamasan). Soalnya, tiap kabupaten dan kotamadya punya pusaka sendiri pemberian raja. Pusaka itu menjadi identitas daerah. Senjata ini harus dimandikan, atau dibersihkan setahun sekali. Sesuai adat keraton.

Grebeg Syawal dan Jamasan adalah potret betapa keraton masih menjadi patokan kekuasaan politik dan budaya di Yogyakarta. Tentu, itu tak lepas dari posisi Sultan, yang sekaligus gubernur bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pemerintahan Karaton

Di tengah kesibukannya sebagai gubernur pemimpin empat kabupaten dan kotamadya, Sultan Hamengkubuwono X tetap menjalankan perannya memimpin kerajaan. Sebagai raja bertahta (Ngarso Dalem), ia bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan keraton (Peperintahan Karaton).

Layaknya sebuah negara, Peperintahan Karaton punya struktur birokrasi dengan tugas dan fungsi sampai ke tingkat bawah. Konsepnya semacam departemen, dan dinas dalam birokrasi modern. Lembaga pembantu Sultan ini dipegang oleh para pengageng.

Tulang punggung pemerintahan keraton ada pada di Pengageng Sri Wandowo. Itu semacam sekretariat negara. Jabatan itu kini dipegang adik kandung Sultan, Gusti Bandoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo. Dia bertugas sebagai perantara, antara Sultan dan pengageng, atau abdi dalem lainnya di kawedanan.

Dalam memimpin keraton, Sultan tak lagi terjun langsung ke dalam rapat-rapat, atau pembahasan program. Sultan hanya memberikan persetujuan, atau instruksi. Semua titahnya dituang dalam surat keputusan (dhawuh dalem), yang ditulis dalam bahasa Jawa halus.

Dalam setahun, Sultan setidaknya membuat lebih dari tiga keputusan. Terakhir, dia menaikkan gaji dan program pendidikan bagi abdi dalem. “Segala keputusan yang diambil Sultan, akan dilaksanakan hingga tingkat bawah melalui Gusti Joyo,” kata GBPH Yudhaningrat, yang juga adik Sultan.

Walau tak terlibat langsung di rumah tangga keraton, Sultan tetap muncul pada setiap upacara besar keraton. Misalnya Grebeg Syawal dan Pisowanan Ageng. Sultan tetap menjadi simbol tertinggi keraton.

Di Peperintahan Karaton, Gusti Joyo adalah nomor satu. Dia mengendalikan sejumlah kawedanan, lembaga yang menangani aneka urusan keraton. Mulai dari perawatan museum dan benda antik, organisasi adat dan budaya Jawa, tanah, bangunan, tari, gamelan, makanan tradisional, gelar, hingga upacara kesultanan.

Setiap kawedanan punya pemimpin, kantor, dan abdi dalem. Mereka berkantor di lingkungan keraton, wajib pakai surjan, kemben, dan jarik. Sementara yang beraktivitas di luar, boleh pakai busana modern. Umumnya batik.

Abdi dalem bekerja berdasar aturan rumah tangga keraton, dan surat dawuh dalem. Sekitar 1.000 dari 3.000 abdi dalem mendapat bayaran. Kecil memang, hanya Rp5-35 ribu sebulan. Bayaran ini sebagai simbol kasih sayang raja kepada rakyatnya yang mengabdi.

"Hampir semua abdi dalem punya pekerjaan lain guna menopang ekonomi keluarga. Sebagai abdi dalem, saya bekerja setiap hari. Saya punya 12 hari untuk mengurus sawah," kata Joyo Pradata, yang menjadi abdi dalem sejak 1975.

Selain mendapat kucuran dana APBN, keraton mencukupi kebutuhan internal melalui pengelolaan aset. Ada sejumlah tanah milik keraton yang disewakan kepada masyarakat. "Pemasukan ini kemudian diolah bendahara keraton untuk rumah tangga keraton," kata Gusti Yudha. Dia tak menyebutkan berapa persisnya kebutuhan dan belanja keraton setiap tahunnya.

Kekuasaan menciut

Menilik sejarah, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, pada mulanya, adalah negara dependen di bawah Kerajaan Belanda. Memiliki wilayah kekuasaan sendiri, sekaligus berwenang penuh mengelola sumber daya ekonomi.

Meski di bawah Sultan, pada zaman kolonial itu pemerintahan dibagi dua. Pertama, Parentah Ageng Karaton, untuk urusan domestik keraton. Kedua, Parentah Nagari, untuk urusan luar. Dalam tugasnya, Sultan dibantu Pepatih yang dulunya adalah kepanjangan tangan Belanda.

Restorasi pemerintahan keraton terjadi pada masa Sultan Hamengkubuwono IX. Keraton memutuskan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekuensinya, administrasi keraton dijalankan berdasar peraturan daerah di Indonesia.

Parentah Ageng Keraton masih bertahan. Namun, tak lagi menyentuh ranah politik. “Jadi, bisa dikatakan kekuasan keraton menciut. Dulunya punya kekuasaan politik, layaknya sebuah negara merdeka, kini hanya berkuasa secara kultural,” kata sejarawan UGM, Djoko Suryo.

Pemerintah pusat mengakomodasi kekuasaan Sultan lewat aturan keistimewaan. Aturan ini memuat ketetapan raja bertahta sebagai kepala daerah atau gubernur. Tak seperti nasib raja-raja lain di Nusantara, Sultan masih punya jangkauan politik di kancah pemerintahan modern.

Walau Sultan punya dua kaki di pusat pemerintahan daerah dan keraton, namun tak ada struktur yang mengikat keduanya. Tiap pemerintahan berjalan sendiri. Keraton bergerak sesuai sistem tata praja. Pemerintahan daerah berjalan sesuai peraturan perundangan yang berlaku di seluruh Indonesia.

Pengamat politik lokal Universitas Gadjah Mada, Arie Dwipayana, memberi contoh menarik.

Adalah GBPH Yudhaningrat, yang hendak berkarier sebagai birokrat. Meski dia Panglima Keprajuritan Keraton, Yudhaningrat tetap melewati aturan kepegawaian. Dia lalu mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil.

Begitu juga soal kenaikan pangkat. Sultan tak mencampuradukkan gelar keraton dan pangkat kepegawaian. “Buktinya, Yudhaningrat tak punya posisi penting dalam birokrasi pemerintahan,” kata Arie.

Meski demikian, tautan kultural antara sistem pemerintahan daerah dan keraton tak terhindarkan dalam konsep keistimewaan ini. Arie menyebutnya sebagai politik kebudayaan. "Politik kebudayaan ada untuk mengikat struktur politik modern ke sistem politik tradisional,“ ujarnya.

Prosesi Grebeg Syawal yang diikuti bupati dan wali kota adalah potret paling nyata. “Kalau dipikir-pikir itu kan sama saja memposisikan bupati sebagai abdi dalem,“ ujar Arie. “Dulu juga pernah ada sistem di mana setiap bupati diberi gelar KRT. Tetapi sekarang sudah tidak berlaku.”

Kini, keistimewaan yang mengakomodasi kekuasaan Sultan di struktur pemerintahan modern, itu tengah diuji di tingkat pusat. Dalam draf Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta, terbuka kemungkinan gubernur Yogyakarta bukan berasal dari kalangan keraton.

Jika itu terjadi, Sultan kelak hanya menjadi simbol kultural. Dengan posisi yang mungkin lebih baik dari raja-raja lain di nusantara.

Rabu, 08 Desember 2010

Objek Wisata Gunung Bromo Masih Belum "Aman"

Meski status Gunung Bromo (2.329 mdpl) saat ini telah menurun dari Awas (level IV) menjadi Siaga (level III), namun objek wisata ikon Jatim itu masih belum "aman" bagi wisatawan.

Humas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) Nova Elina mengatakan, pihaknya belum bisa membuka objek wisata Bromo tersebut, sebab untuk membuka perlu rekomendasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

"Meski statusnya telah menurun menjadi Siaga, namun kita perlu menunggu rekomendasi dari pusat, sebab keamanan wisatawan menjadi sangat penting," katanya.

Dengan menurunnya status tersebut, saat ini TNBTS akan menggelar rapat internal untuk menentukan tempat yang aman bagi pengunjung saat mengunjungi objek wisata Bromo.

Nova menjelaskan, berdasarkan laporan terakhir yang diterima oleh TNBTS, jarak aman yang sebelumnya 3 kilometer dari pusat abu vulkanik saat ini telah menurun menjadi 2 kilometer.

"Dengan menurunnya jarak aman ini maka secara umum obyek wisata Bromo juga masih belum aman, sebab pihak TNBTS harus menunggu rekomendasi dari pusat," ucapnya.

Sebelumnya, terhitung sejak Senin siang pukul 12.45 WIB status Gunung Bromo diturunkan dari Awas menjadi Siaga.

Kepala Sub-Bidang Pengamatan Gunung Api PVMBG, Agus Budianto mengatakan, setelah melakukan pengamatan selama lima hari ada penurunan aktivitas vulkanik yang cukup siginifikan, sehingga statusnya saat ini telah menurun.

"Setelah kami amati selama lima hari terakhir, ada penurunan aktivitas vulkanis Gunung Bromo yang cukup signifikan, sehingga statusnya pun kami turunkan dari Awas menjadi Siaga," ujarnya.

Agus menjelaskan, dengan penurunan status tersebut, kawasan lautan pasir di seputar kawah Gunung Bromo, akan dibuka kembali, namun secara terbatas dengan radius dua kilometer.

Hal ini dikarenakan risiko aktivitas gunung tersebut yang semakin kecil. "Lautan pasir bisa dilalui untuk masyarakat umum, namun dalam radius dua kilometer dari kawah," katanya

Kirab Pusaka Keraton Sambut Bulan Syura

Kirab pusaka yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta menyambut kedatangan Bulan Syura (Tahun Baru Hijriyah), yang diikuti sekitar 2.000 abdi dalem karaton, Selasa (7/12) malam hingga Rabu dinihari, mendapat sambutan meriah dari masyarakat.

Acara tersebut diawali dengan selamatan kenduri mulai pukul 19.00 WIB dilanjutkan Khol Pakoe Boewono (PB) X di Bangsal Maligi Keraton, lalu tahlilan dilanjutkan Salat Hajad di Masjid Pudjasana.

Pukul 23.15 WIB abdi dalem keraton mendatangkan enam kerbau albino dewasa dan satu anak kerbau untuk dikirab bersama sembilan pusaka.

Kirab pusaka ini mengambil rute dari keraton menuju kawasan Geladak - Telkom - Jalan Kapten Mulyadi-Baturono.

Selanjutnya iring-iringan pusaka dan kerbau Kiyai Slamet itu dibawa menuju keperempatan Gemblegan, kemudian ke utara arah Nonongan - Jalan Slamet Riyadi kembali lewat Gladak dan berakhir kembali ke keraton sekitar pukul 03.00 WIB Rabu (8/12) dini hari.

Kirab pusaka untuk menyambut kedatangan bulan Syura itu merupakan tradisi yang sudah turun temurun.

Dalam kirab tersebut, pusaka keraton menjadi bagian utama pada barisan terdepan, diikuti para pembesar keraton, kerabat dan jajaran keraton yang lengkap dengan pakaian adat, dan masyarakat.

Uniknya, pada lapisan barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet. Kerbau itu selalu menjadi perhatian tersendiri bagi masyarakat.

Masyarakat Solo dan sekitarnya sampai sekarang masih ada yang menganggap dengan menyaksikan kirab melihat kerbau tersebut akan mendapatkan berkah tersendiri.

Peringatan menyambut kedatangan bulan Syura di Pura Mangkunegaran Solo jatuh Senin (6/12) malam, dan kirab pusaka dilakukan
mengelilingi tembik Pura mangkunegaran mulai pukul 19.30 WIB.

Untuk pusaka yang dikirab ada enam tumbak yang dibawa keliling oleh para abdi dalem pura dan diikuti para pejabat pura lainnya, kata Sekretaris Panitia tersebut Mas Ngabehi Supriyanto Waluyo.

"Kirab ini semua dimaksudkan untuk meminta kesalamatan Pura dan Negara Republik Indonesia kepada Tuhan," katanya.

Usai kirab dilanjutkan dengan ritual merebutkan air kembang dan uang logam oleh warga yang yang memadati di halaman pura tersebut.

Selasa, 07 Desember 2010

Pantai Tanjung Bira

Pantai Tanjung Bira sangat indah dan memukau dengan pasir putihnya yang lembut seperti tepung terigu. Di lokasi, para pengunjung dapat berenang, berjemur, diving dan snorkling. Para pengunjung juga dapat menyaksikan matahari terbit dan terbenam di satu posisi yang sama, serta dapat menikmati keindahan dua pulau yang ada di depan pantai ini, yaitu Pulau Liukang dan Pulau Kambing.
Tanjung Bira terletak sekitar 40 km dari Kota Bulu Kumba, atau 200 km dari Kota Makassar. perjalanan dari Kota Makassar ke Tanjung Bira sekitar 3 – 3,5 jam.

Sabtu, 04 Desember 2010

Wakil Menlu AS Saksikan Pembersihan Borobudur

Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Diplomasi Publik, Penerangan, dan Kebudayaan Judith McHale, Sabtu 4 Desember 2010, menyaksikan proses pembersihan Candi Borobudur dari abu vulkanik Gunung Merapi.

Judith mengatakan saat menyaksikan pembersihan Borobudur samapai lantai tujuh Salah satu hal terbaik dalam kunjungan ini adalah bertemu para relawan dari Universitas Indonesia yang membantu pembersihan relief candi.

Ia menilai relawan telah bekerja keras untuk membantu melestarikan dan menjaga warisan budaya yang sangat megah ini.

"Saya sudah mengenal Candi Borobudur sejak lama, sekarang baru mengunjunginya dan menyaksikan proses pembersihan candi," katanya.

Ia mengatakan, sebelumnya Presiden Amerika Serikat, Barack Obama telah berkunjung ke Indonesia untuk mempererat hubungan Indonesia-Amerika Serikat dan salah satu hal terbaik adalah mengunjungi salah satu warisan budaya, bahkan terbesar di dunia.

Dia mempertimbangkan membantu Borobudur, apalagi Indonesia-Amerika Serikat mempunyai kemitraan komprehensif termasuk dalam bidang kebudayaan.

"Setelah pulang ke Washington DC saya akan melihat apakah ada cara-cara dari pihak Amerika Serikat untuk membantu Candi Borobudur," katanya.

Di Candi Borobudur, Judith disambut kesenian Wulang Sunu yang dibawakan siswa SMP Candirejo. DIa juga menyaksikan koleksi Museum Karmawibhangga di kompleks Candi Borobudur.

BOROBUDUR DIBUKA KEMBALI

Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB), Borobudur, Magelang, Jateng mulai hari Jum'at 3 Desember 2010 sudah di buka kembali untuk wisatawan, namun hanya di zona 1 atau di halaman pertama Candi Borobudur karena masih dalam tahap pembersihan dari abu vulkanik Merapi.

Kamis, 02 Desember 2010

Presiden : SULTAN Tetap yang Terbaik

Presiden SUSILO BAMBANG YUDHOYONO menegaskan sikapnya sebagai kepala negara dan pemerintahan bahwa kepemimpinan dan posisi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di tangan SULTAN HAMENGKUBUWONO X tetap yang terbaik.

Dalam konferensi pers menjelaskan RUU Keistimewaan DIY di Istana Negara, Jakarta, Hari Kamis 2 Des 2010, Presiden mengatakan Kalau dari sisi politik praktis, sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan republik ini presiden berpendapat untuk kepemimpinan dan posisi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mendatang yang terbaik dan tepat tetap SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO X. PEnegasan itu di ungkapkan karena posisinya sebagai presiden.

Dalam kapasitas yang lain sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, lanjut dia, tentunya sikap dan pandangan tersebut akan dialirkan kepada garis politik partai.

Dalam penjelasannya tentang Keistimewaan RUU DIY, Presiden YUDHOYONO berkali-kali meminta agar polemik tersebut tidak diarahkan seolah-olah terjadi konflik pribadi antara dirinya dan SULTAN.

Presiden dalam penjelasannya secara detil merunutkan polemik yang berkembang pada 2007 ketika masa jabatan SULTAN HB X akan berakhir pada 2008 namun tidak bersedia lagi memimpin provinsi DIY.

Presiden dengan mempertimbangkan politik dan situasi masyarakat DIY kala itu pun mengambil inisiatif memperpanjang masa jabatan SULTAN HB X dan PAKU ALAM IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY selama tiga tahun hingga 2011.

Dalam penjelasannya, Presiden YUDHOYONO kembali mengulangi pengantarnya dalam sidang kabinet 26 November 2010 yang kemudian menjadi perdebatan hangat di ruang publik.

Presiden kembali menegaskan bahwa ia menginginkan tiga unsur tercakup dalam RUU DIY, yaitu sistem nasional dan negara kesatuan Republik Indonesia, keistimewaan DIY, serta manifestasi nilai-nilai demokrasi.

Meski pemerintah saat ini belum menentukan sikap tentang suksesi kepemimpinan di DIY, Presiden meminta agar dua pandangan yang saat ini mengemuka yaitu pemilihan langsung secara demokratis dan penentuan langsung selalu dikaitkan dengan UUD 1945.

Untuk pandangan model demokratis, Presiden meminta agar dipertimbangkan pasal 18 B ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dalam undang-undang.

Sedangkan untuk pandangan model penetapan langsung, Kepala Negara meminta agar dipertimbangkan pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan gubernur, bupati dan wali kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

Rabu, 01 Desember 2010

Seniman Yogya Tolak 'Monarki' dari SBY

Kata-kata 'monarki' yang diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ditujukan untuk Yogyakarta mendapat penolakan dari sejumlah kelompok di Kota Gudek itu. Penolakan datang mulai dari perangkat desa sampai kalangan seniman Yogyakarta.

Polemik ini mencuat dari pro dan kontra Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK). Salah satunya, Bondan Nusantara, penggagas forum seniman tradisi Yogyakarta menyatakan tradisi Yogyakarta tidak mengenal monarki. Kata monarki bagi Yogyakarta dikhawatirkan dapat memecah belah masyarakat, bahkan NKRI.

mereka sangat menolak istilah monarki bagi Yogyakarta. RUUK DIY harus berakar pada masyarakat Yogyakarta sendiri, jangan sampai mengikuti keinginan pemerintah pusat karena akan memecah belah masyarakat Yogyakarta itu dikatakan Bondan Nusantara.

Bondan telah menggalang kekuatan dan mendapat dukungan yang sangat luas dari masyarakat Yogyakarta maupun luar Yogyakarta untuk RUUK DIY. Menurut dia, selama dipimpin Sultan dan Paku Alam, masyarakat Yogyakarta dapat hidup dengan aman dan tenteram.

bondan juga mngatakan bahwa Meski Sultan dan Paku Alam tidak dipilih langsung. Dan di DIY belum pernah ada sejarah Gubernur dan wakilnya dipilih oleh rakyat namun ditetapkan.

Kata-kata 'monarki' itu disampaikan Presiden SBY saat membuka rapat kabinet terbatas, Jumat 26 November lalu. "Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi," kata SBY.
Wisben Antoro, seniman lawak Yogyakarta yang tergabung dalam forum yang sama juga menolak istilah monarki. Justru Yogyakarta sudah menjadi daerah yang demokratis sebelum Indonesia merdeka.

"Kami jelas menolak istilah monarki yang diungkap oleh presiden, Yogyakarta sudah demokratis sebelum bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia," katanya.

Untuk mendukung penetapan gubernur, mereka akan unjuk gigi dengan menggelar seni jalanan dengan tujuan mendukung keistimewaan Yogyakarta. Salah satunya adalah dengan penetapan Gubernur yang dijabat Sultan dan wakilnya adalah Paku Alam.

Langit Bromo Berubah Merah

Asap pekat kecokelatan terus dikeluarkan Gunung Bromo. Asap dari abu vulkanik tersebut saat membumbung tinggi di langit warnanya berubah menjadi kemerah-merahan.

Suasana langit merah tersebut terlihat jelas di kawasan Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.

Asap itu merupakan abu halus bercampur dengan gas belerang hal itu diungkapkan oleh Gede Suantika, Kepala Bidang Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi,

Gede menambahkan Asap tersebut berbahaya jika mengenai tanaman. Dalam konsentrasi tertentu tanaman akan mati jika terus menerus terkena debu asap itu. Untuk manusia, Gede mengatakan jika kadar asap tersebut masih di ambang batas.

Yang penting warga yang 'dikirimi' hujan abu mengenakan masker. "Itu hal yang biasa saat gunung api meletus," tutur Gede.

Normalnya dalam 5 menit asap yang membumbung ke udara akan luruh atau jatuh dengan sendirinya. Tapi hal itu juga tergantung kepada arah dan kekuatan angin. Jika angin bertiup kencang dan kuat, maka debu halus itu akan cepat turun dan tidak berlama-lama mengendap di udara.

Gunung Kelud