Kamis, 13 Maret 2014

Gunung Kelud



Gunung Kelud

Gunung Kelud dengan danau kawah (1980)
Ketinggian 1.731 m (5,679 kaki)

Gunung Kelud (sering disalahtuliskan menjadi Kelut yang berarti "sapu" dalam bahasa Jawa; dalam bahasa Belanda disebut Klut, Cloot, Kloet, atau Kloete) adalah sebuah gunung berapi di Provinsi Jawa Timur, Indonesia, yang tergolong aktif. Gunung ini berada di perbatasan antara Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang , kira-kira 27 km sebelah timur pusat Kota Kediri.
Sebagaimana Gunung Merapi, Gunung Kelud merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia. Sejak tahun 1000 M, Kelud telah meletus lebih dari 30 kali, dengan letusan terbesar berkekuatan 5 Volcanic Explosivity Index (VEI). Letusan terakhir Gunung Kelud terjadi pada tahun 2014.

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Kelud

Minggu, 23 Januari 2011

Gunung Tangkuban Perahu Jawa Barat

Gunung Tangkuban Perahu

Gunung Tangkuban Parahu atau Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung yang terletak di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung, dengan rimbun pohon pinus dan hamparan kebun teh di sekitarnya, gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter. Bentuk gunung ini adalah Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat.

Jenis batuan yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang dikeluarkan adalah sulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum Perhutanan. Suhu rata-rata hariannya adalah 17oC pada siang hari dan 2 oC pada malam hari.

Gunung Tangkuban Parahu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.

Legenda rakyat Sangkuriang

Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu, sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.

Gunung Tangkuban Parahu ini termasuk gunung api aktif yang statusnya diawasi terus oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia. Beberapa kawahnya masih menunjukkan tanda tanda keaktifan gunung ini. Diantara tanda gunung berapi ini adalah munculnya gas belerang dan sumber-sumber air panas di kaki gunung nya diantaranya adalah di kasawan Ciater, Subang.

Keberadaan gunung ini serta bentuk topografi Bandung yang berupa cekungan dengan bukit dan gunung di setiap sisinya menguatkan teori keberadaan sebuah telaga (kawah) besar yang kini merupakan kawasan Bandung. Diyakini oleh para ahli geologi bahwa kawasan dataran tinggi Bandung dengan ketinggian kurang lebih 709 m diatas permukaan laut merupakan sisa dari letusan gunung api purba yang dikenal sebagai Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Parahu merupakan sisa Gunung Sunda purba yang masih aktif. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan kawasan Ngorongoro di Tanzania, Afrika. Sehingga legenda Sangkuriang yang merupakan cerita masyarakat kawasan itu diyakini merupakan sebuah dokumentasi masyarakat kawasan Gunung sunda purba terhadap peristiwa pada saat itu.

Situ Patengan Bandung

Situ Patengan

Danau Patengan atau yang oleh masyarakat sekitar sana disebut dengan Situ Patengan terletak di Kecamatan Ranca Bali, meski dulunya masuk ke dalam Kecamatan Ciwidey. Objek wisata ini masuk dalam wilayah Kabupaten Bandung, tepatnya daerah Bandung bagian selatan yang berjarak kurang lebih sekitar 40 km dari Kota Bandung.

Danau Patengan berada di ketinggian sekitar 1600 m di atas permukaan laut. Dengan kondisi yang seperti itu selain menjanjikan suhu udara yang sangat sejuk, juga tidak perlu diragukan lagi keberadaan panorama yang sangat indah. Dari awal jalan masuk menuju lokasi sudah terlihat hamparan hijau kebun teh yang tersusun begitu rapi dan beberapa pepohonan yang menjulang tinggi. Perkebunan strawberry juga banyak ditemui di sepanjang lokasi menuju danau. Perkebunan-perkebunan ini terbuka untuk umum, di mana pengunjung dapat memetik sendiri buah strawberry dari pohonnya yang ditanam di kantong-kantong plastik.

Dulunya kawasan Danau Patengan ini adalah cagar alam dan taman nasional, baru dibuka pada tahun 1981 sebagai kawasan wisata. Danau Patengan memiliki total luas cagar alamnya sekitar 123.077,15 hektar dengan luas danaunya sendiri 45 ribu hektar. Danau ini punya kedalaman 3 sampai dengan 4 m. Dengan luas dan kedalaman seperti ini, danau ini menjadi habitat yang tepat untuk berbagai jenis ikan seperti nila, tawes, dan gurami.

Kondisi danau ini cukup terawat dan bersih dari sampah, ditambah lagi dengan banyaknya pohon kayu putih yang menjulang tinggi semakin menambah keasrian dan kesejukan udara di tempat ini. Fasilitas objek wisata ini cukup lengkap, mulai dari pusat informasi, musala, toko cindera mata, warung makanan, gazebo semacam saung tempat berteduh, sampai dengan sarana rekreasi air seperti perahu dan sepeda air.

Mitos Situ Patenggang bandung

Berdasarkan informasi yang tertera di lokasi wisata, situ Patenggang berasal dari bahasa Sunda, pateangan-teangan (saling mencari). Mengisahkan cinta Putra Prabu dan Putri titisan Dewi yang besar bersama alam, yaitu ki Santang dan Dewi Rengganis. Mereka berpisah untuk sekian lamanya. Karena cintanya yang begitu dalam, mereka saling mencari dan akhirnya bertemu di sebuah tempat yang sampai sekarang dinamakan "Batu Cinta". Dewi Rengganispun minta dibuatkan danau dan sebuah perahu untuk berlayar bersama. Perahu inilah yang sampai sekarang menjadi sebuah pulau yang berbentuk hati (Pulau Asmara /Pulau Sasaka). Menurut cerita ini, yang singgah di batu cinta dan mengelilingi pulau asmara, senantiasa mendapat cinta yang abadi seperti mereka.

Selain itu di tengah Danau Patengan terdapat sebuah pulau yang bernama Pulau Sasaka. Pulau ini tampak rindang dengan banyaknya pohon-pohon tinggi yang tumbuh di dalamnya. Pulau ini juga menyimpan mitos tersendiri di mana oleh juru kuncinya, dilarang untuk mengunjunginya kecuali pada tanggal 14 Maulid. Saat itulah penduduk biasanya mengadakan acara ritual semalam suntuk. Juru kunci itu sendiri tinggal di pinggir danau dengan bentuk rumahnya yang unik.

Minggu, 02 Januari 2011

Teh Poci "khas kota Tegal"

“Yuk moci.” Itulah ajakan yang sering dilontarkan teman atau saudara ketika seseorang bermalam di Kota Tegal. Meminum teh dalam poci di Kota Tegal dan sekitarnya sudah tidak lagi hanya bisa dipahami sebagai sebuah cara untuk melenyapkan haus. Moci sudah menjadi bagian gaya hidup dan budaya masyarakat setempat.
Ketika moci, kita bisa memperbincangkan banyak hal. Mulai keluhan anak yang susah makan hingga masalah kunjungan Presiden Barack Hussein Obana ke Indonesia. Tidak ada jarak antara yang mentraktir dengan yang ditraktir. Semuanya setara. Egalitarianisme begitu terasa ketika sekelompok orang moci bersama.
Sangat mudah untuk menghidangkan the poci. Penjual cukup menyediakan peranti minum the terbuat dari gerabah berukuran kecil, yang terdiri atas satu teko dan empat cangkir kecil. Kemudian masukkan gula batu ke masing-masing cangkir. Satu pak kecil teh dimasukkan ke dalam teko yang sudah dituang air panas mendidih.
Sambil menunggu teh berubah warna menjadi merah kecoklatan, pembeli bisa menyantap camilan yang disediakan penjual. Setelah itu, tuangkan teh panas dari teko ke dalam cangkir. Heem, benar-benar “naswagitel” alias panas, wangi, legi (manis), dan kenthel (kental).
Tertarik mengajak kerabat atau teman moci bersama? Sangat mudah untuk mendapatkan lokasi moci untuk dijadikan tempat kongkow dan ngobrol “ngalor-ngidul”.
“Jok, Pak,” kata seseorang setelah teko berisi teh ludes diminum bersama.

Wisata Baturraden

Baturraden adalah sebuah tujuan wisata di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia.

Baturraden terletak di sebelah utara kota Purwokerto tepat di lereng sebelah selatan Gunung Slamet. Baturraden karena letaknya di lereng gunung menjadikan kawasan ini memiliki hawa yang sejuk dan cenderung sangat dingin terutama di malam hari. Baturraden juga merupakan daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal, terutama pada hari minggu dan hari libur nasional. Kondisi tersebut menyebabkan banyak hotel dan vila didirikan di sini.

Baturraden adalah keindahan yang memancar dari lereng Gunung Slamet. Lokasi wisata yang berjarak hanya sekitar 15 km dari kota Purwokerto, Jawa Tengah ini, tak hanya menyimpan panorama alam yang molek, tetapi juga cerita rakyat tentang Raden Kamandaka, atau Lutung Kasarung yang cukup akrab di masyarakat Indonesia.

Selain akses yang mudah, area wisata ini juga menyediakan hotel dan aneka penginapan yang memadai. Di samping, bagi pecinta alam terbuka disediakan camping ground yang nyaman dan aman. Dan tanpa perlu khawatir akan kesulitan memperoleh makanan, karena di area ini cukup banyak pedagang yang menjajakan sate kelinci.

Gunung Slamet dengan lereng-lerengnya yang landai, menawarkan panorama alam yang indah, dan udara yang segar.

Lokasi wisata Baturaden

* Pancuran Pitu Baturraden

Pemandian air panas yang yang mengandung belerang. Dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Terletak di sebelah atas Pancuran Telu.

* Pancuran Telu

Pemandian air panas yang yang mengandung belerang. Dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Terletak di sebelah bawah Pancuran Pitu.

* Bumi Perkemahan

Merupakan camping ground yang sering dimanfaatkan oleh para pecinta alam dan penikmat kegiatan out bond. Pernah digunkan sebagai tempat penyelenggaraan Jambore Nasional Gerakan Pramuka se-Indonesia pada tahun 2001.

* Kaloka Widya Mandala

Taman Kaloka Widya Mandala Baturraden atau Wisata Pendidikan Wanasuka Baturraden merupakan kebun binatang sekaligus sebagai tempat wisata edukasi yang diresmikan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banyumas H. Djoko Sudantoko pada tanggal 17 mei 1995. Tempat ini pernah mendapatkan prestasi sebagai Visit Indonesia Dekade 1991-2000 dalam Penobatan Anugerah Wisata Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta di Semarang pada tanggal 23 Agustus 1996.

Di Taman Kaloka Widya Mandala Baturraden terdapat berbagai macam binatang yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri seperti dari Australia, Asia dan Belanda. Koleksinya meliputi: Sapi kaki lima, Kambing kaki tiga, Gajah, Beruk (Buing), Buaya Irian, Ular Sanca, Kaswari, Monyet, Landak, Iguana, Cendrawasih, Kelelawar, Ayam Kate, Ayam Mutiara, Orang Utan, Elang Bondol, Rusa. Di tempat ini juga terdapat Museum Satwa Langka, seperti: Harimau Sumatera, Beruang Madu, dan Macan Dahan.

Kamis, 23 Desember 2010

Menilik Kraton Yogya

Berbalut surjan dan jarik, empat bupati dan wali kota Yogyakarta berjalan jongkok. Dengan cara laku ndodok itu, mereka mendekati singgasana Sultan Hamengkubuwono X. Mengekor di belakang adik-adik Sultan dan kerabat keraton, mereka menunggu giliran sungkeman.

“Maju,” titah Sri Sultan.

Mereka bergerak, mencium lutut Sultan. Lalu hening.

"Mundur," suara Sultan kembali terdengar. Itu tanda satu sungkeman berakhir, dan bertukar giliran. Satu per satu. Mereka menghaturkan sembah. Mencium lutut sang raja Jawa.

Digelar setiap Idul Fitri, tradisi sungkeman dimulai dua setengah abad silam, sejak Sultan Hamengkubuwono I bertahta. Ritual itu disebut Grebeg Syawal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Yang hadir, keluarga dan abdi dalem keraton. Itu simbol hormat dan patuh kepada raja.

Bupati dan walikota? Lima pejabat teras itu memang bukan abdi dalem keraton yang bekerja untuk raja. Tak juga ada gelar bangsawan sebagai tanda kerabat keraton. Secara struktural, mereka bawahan Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lantas mengapa bupati dan walikota ikut mencium lutut raja?

Seorang kerabat keraton, Heru Wahyukismoyo, mengatakan, kehadiran bupati dan wali kota di setiap Grebeg Syawal bersifat fakultatif. Bukan titah Sultan. Juga bukan kewajiban. “Mereka yang tak punya hubungan kekerabatan dengan keraton biasanya mengajukan diri ikut sungkeman,” ujarnya.

Meleburnya para abdi republik ke dalam tradisi keraton, juga tampak pada upacara pemandian pusaka (jamasan). Soalnya, tiap kabupaten dan kotamadya punya pusaka sendiri pemberian raja. Pusaka itu menjadi identitas daerah. Senjata ini harus dimandikan, atau dibersihkan setahun sekali. Sesuai adat keraton.

Grebeg Syawal dan Jamasan adalah potret betapa keraton masih menjadi patokan kekuasaan politik dan budaya di Yogyakarta. Tentu, itu tak lepas dari posisi Sultan, yang sekaligus gubernur bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pemerintahan Karaton

Di tengah kesibukannya sebagai gubernur pemimpin empat kabupaten dan kotamadya, Sultan Hamengkubuwono X tetap menjalankan perannya memimpin kerajaan. Sebagai raja bertahta (Ngarso Dalem), ia bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan keraton (Peperintahan Karaton).

Layaknya sebuah negara, Peperintahan Karaton punya struktur birokrasi dengan tugas dan fungsi sampai ke tingkat bawah. Konsepnya semacam departemen, dan dinas dalam birokrasi modern. Lembaga pembantu Sultan ini dipegang oleh para pengageng.

Tulang punggung pemerintahan keraton ada pada di Pengageng Sri Wandowo. Itu semacam sekretariat negara. Jabatan itu kini dipegang adik kandung Sultan, Gusti Bandoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo. Dia bertugas sebagai perantara, antara Sultan dan pengageng, atau abdi dalem lainnya di kawedanan.

Dalam memimpin keraton, Sultan tak lagi terjun langsung ke dalam rapat-rapat, atau pembahasan program. Sultan hanya memberikan persetujuan, atau instruksi. Semua titahnya dituang dalam surat keputusan (dhawuh dalem), yang ditulis dalam bahasa Jawa halus.

Dalam setahun, Sultan setidaknya membuat lebih dari tiga keputusan. Terakhir, dia menaikkan gaji dan program pendidikan bagi abdi dalem. “Segala keputusan yang diambil Sultan, akan dilaksanakan hingga tingkat bawah melalui Gusti Joyo,” kata GBPH Yudhaningrat, yang juga adik Sultan.

Walau tak terlibat langsung di rumah tangga keraton, Sultan tetap muncul pada setiap upacara besar keraton. Misalnya Grebeg Syawal dan Pisowanan Ageng. Sultan tetap menjadi simbol tertinggi keraton.

Di Peperintahan Karaton, Gusti Joyo adalah nomor satu. Dia mengendalikan sejumlah kawedanan, lembaga yang menangani aneka urusan keraton. Mulai dari perawatan museum dan benda antik, organisasi adat dan budaya Jawa, tanah, bangunan, tari, gamelan, makanan tradisional, gelar, hingga upacara kesultanan.

Setiap kawedanan punya pemimpin, kantor, dan abdi dalem. Mereka berkantor di lingkungan keraton, wajib pakai surjan, kemben, dan jarik. Sementara yang beraktivitas di luar, boleh pakai busana modern. Umumnya batik.

Abdi dalem bekerja berdasar aturan rumah tangga keraton, dan surat dawuh dalem. Sekitar 1.000 dari 3.000 abdi dalem mendapat bayaran. Kecil memang, hanya Rp5-35 ribu sebulan. Bayaran ini sebagai simbol kasih sayang raja kepada rakyatnya yang mengabdi.

"Hampir semua abdi dalem punya pekerjaan lain guna menopang ekonomi keluarga. Sebagai abdi dalem, saya bekerja setiap hari. Saya punya 12 hari untuk mengurus sawah," kata Joyo Pradata, yang menjadi abdi dalem sejak 1975.

Selain mendapat kucuran dana APBN, keraton mencukupi kebutuhan internal melalui pengelolaan aset. Ada sejumlah tanah milik keraton yang disewakan kepada masyarakat. "Pemasukan ini kemudian diolah bendahara keraton untuk rumah tangga keraton," kata Gusti Yudha. Dia tak menyebutkan berapa persisnya kebutuhan dan belanja keraton setiap tahunnya.

Kekuasaan menciut

Menilik sejarah, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, pada mulanya, adalah negara dependen di bawah Kerajaan Belanda. Memiliki wilayah kekuasaan sendiri, sekaligus berwenang penuh mengelola sumber daya ekonomi.

Meski di bawah Sultan, pada zaman kolonial itu pemerintahan dibagi dua. Pertama, Parentah Ageng Karaton, untuk urusan domestik keraton. Kedua, Parentah Nagari, untuk urusan luar. Dalam tugasnya, Sultan dibantu Pepatih yang dulunya adalah kepanjangan tangan Belanda.

Restorasi pemerintahan keraton terjadi pada masa Sultan Hamengkubuwono IX. Keraton memutuskan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekuensinya, administrasi keraton dijalankan berdasar peraturan daerah di Indonesia.

Parentah Ageng Keraton masih bertahan. Namun, tak lagi menyentuh ranah politik. “Jadi, bisa dikatakan kekuasan keraton menciut. Dulunya punya kekuasaan politik, layaknya sebuah negara merdeka, kini hanya berkuasa secara kultural,” kata sejarawan UGM, Djoko Suryo.

Pemerintah pusat mengakomodasi kekuasaan Sultan lewat aturan keistimewaan. Aturan ini memuat ketetapan raja bertahta sebagai kepala daerah atau gubernur. Tak seperti nasib raja-raja lain di Nusantara, Sultan masih punya jangkauan politik di kancah pemerintahan modern.

Walau Sultan punya dua kaki di pusat pemerintahan daerah dan keraton, namun tak ada struktur yang mengikat keduanya. Tiap pemerintahan berjalan sendiri. Keraton bergerak sesuai sistem tata praja. Pemerintahan daerah berjalan sesuai peraturan perundangan yang berlaku di seluruh Indonesia.

Pengamat politik lokal Universitas Gadjah Mada, Arie Dwipayana, memberi contoh menarik.

Adalah GBPH Yudhaningrat, yang hendak berkarier sebagai birokrat. Meski dia Panglima Keprajuritan Keraton, Yudhaningrat tetap melewati aturan kepegawaian. Dia lalu mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil.

Begitu juga soal kenaikan pangkat. Sultan tak mencampuradukkan gelar keraton dan pangkat kepegawaian. “Buktinya, Yudhaningrat tak punya posisi penting dalam birokrasi pemerintahan,” kata Arie.

Meski demikian, tautan kultural antara sistem pemerintahan daerah dan keraton tak terhindarkan dalam konsep keistimewaan ini. Arie menyebutnya sebagai politik kebudayaan. "Politik kebudayaan ada untuk mengikat struktur politik modern ke sistem politik tradisional,“ ujarnya.

Prosesi Grebeg Syawal yang diikuti bupati dan wali kota adalah potret paling nyata. “Kalau dipikir-pikir itu kan sama saja memposisikan bupati sebagai abdi dalem,“ ujar Arie. “Dulu juga pernah ada sistem di mana setiap bupati diberi gelar KRT. Tetapi sekarang sudah tidak berlaku.”

Kini, keistimewaan yang mengakomodasi kekuasaan Sultan di struktur pemerintahan modern, itu tengah diuji di tingkat pusat. Dalam draf Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta, terbuka kemungkinan gubernur Yogyakarta bukan berasal dari kalangan keraton.

Jika itu terjadi, Sultan kelak hanya menjadi simbol kultural. Dengan posisi yang mungkin lebih baik dari raja-raja lain di nusantara.

Rabu, 08 Desember 2010

Objek Wisata Gunung Bromo Masih Belum "Aman"

Meski status Gunung Bromo (2.329 mdpl) saat ini telah menurun dari Awas (level IV) menjadi Siaga (level III), namun objek wisata ikon Jatim itu masih belum "aman" bagi wisatawan.

Humas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) Nova Elina mengatakan, pihaknya belum bisa membuka objek wisata Bromo tersebut, sebab untuk membuka perlu rekomendasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

"Meski statusnya telah menurun menjadi Siaga, namun kita perlu menunggu rekomendasi dari pusat, sebab keamanan wisatawan menjadi sangat penting," katanya.

Dengan menurunnya status tersebut, saat ini TNBTS akan menggelar rapat internal untuk menentukan tempat yang aman bagi pengunjung saat mengunjungi objek wisata Bromo.

Nova menjelaskan, berdasarkan laporan terakhir yang diterima oleh TNBTS, jarak aman yang sebelumnya 3 kilometer dari pusat abu vulkanik saat ini telah menurun menjadi 2 kilometer.

"Dengan menurunnya jarak aman ini maka secara umum obyek wisata Bromo juga masih belum aman, sebab pihak TNBTS harus menunggu rekomendasi dari pusat," ucapnya.

Sebelumnya, terhitung sejak Senin siang pukul 12.45 WIB status Gunung Bromo diturunkan dari Awas menjadi Siaga.

Kepala Sub-Bidang Pengamatan Gunung Api PVMBG, Agus Budianto mengatakan, setelah melakukan pengamatan selama lima hari ada penurunan aktivitas vulkanik yang cukup siginifikan, sehingga statusnya saat ini telah menurun.

"Setelah kami amati selama lima hari terakhir, ada penurunan aktivitas vulkanis Gunung Bromo yang cukup signifikan, sehingga statusnya pun kami turunkan dari Awas menjadi Siaga," ujarnya.

Agus menjelaskan, dengan penurunan status tersebut, kawasan lautan pasir di seputar kawah Gunung Bromo, akan dibuka kembali, namun secara terbatas dengan radius dua kilometer.

Hal ini dikarenakan risiko aktivitas gunung tersebut yang semakin kecil. "Lautan pasir bisa dilalui untuk masyarakat umum, namun dalam radius dua kilometer dari kawah," katanya

Gunung Kelud